Oleh : Yuyu Wahyudin Bani Atmadja
Ketika Nabi ibrohim melihat Bapaknya
berenang-renang di api neraka, maka ia memohon-mohon pada Alloh sambil
menggugat,: Ya Alloh katanya engkau tidak akan menyusahkan hamba, tapi
ini hamba harus menyaksikan orang tua yang disiksa di neraka..”.
Demikian perasaan yang sangat kecewa dari seorang Nabi yang mugkin
menurut perasaan manusia itu tidak pantas, tidak mungkin, tidak adil.
Lalu bagaimana dengan kita yang bukan seorang Nabi, jika menyaksikan
hal yang menurut kita tidak mugnkin, tidak percaya kalau itu harus
terjadi pada orang yang kita cintai, kita banggakan.
Hirup pikuk kehidupan, perubahan jaman
yang cepat berdampak pada perubahan moral yang cepat sehingga banyak hal
yang kita anggap tidak mungkin terjadi dapat saja menjadi mugnkin.
Saat ini perkembangan jaman dan perubahan perilaku manusia sangat cepat
sehingga sebagaimana diceritrakan dalam sebuah hadist,” pagi iman sore
menjadi kafir “ saking terasa cepatnya perubahan diri manusia. Kita
hidup tidak lagi selalu bersama dengan lingkungan yang konstan kondusif
untuk menjaga satu sikap dan karakter tertentu. Yang pada awalnya
dianggap aneh dan menghebohkan sekarang dianggap kejadian biasa, semisal
pergaulan bebas, perselingkuhan, menikmati hiburan maksiat, nafza,
hamil di luar nikah dan sebagainya.
Berbagai predisposisi untuk terjadinya
hal itu, dimulai dari hubungan yang kurang harmonis dalam keluarga,
kehidupan yang monoton, komunikasi yang tidak sehat dalam keluarga,
kurangnya rekreasi keluarga, kurangnya perasaan diakui dalam keluarga,
stress social, tres kerja, stress ekonomi dll. Ini semua terakumulasi
menjadi stress yang membutuhkan reduksi (pembebasan) dari diri
seseorang. Beberapa orang masih mampu mengendalikannya dengan
kompensasi pada kegiatan yang lebih bermanfaat, namun sebagian akan
mereduksinya dengan cara perlahan dan tidak sadar masuk pada kegiatan
yang destruktif semacam efek madat yang bukan menghentikan stress atau
membebaskannya malah ketagihan dan setelah itu membentuk kecemasan baru
yang lebih parah, hal yang lebih berbahaya jika seseorang telah
memutuskan , “terlanjur”, jika ini yang terjadi maka orang akan berendam
dalam stress yang berkepanjangan secara agama ia bermandikan dosa yang
tiada henti.
Jika kita menghadapi orang yang telah
terlanjur bermandikan dosa, tetaplah ia diakui sebagai keluarga kita
yang perlu mendapat perhatian dan kasih sayang. Alih-alih menyalahkannya
lebih baik mengoreksi diri kita seberapa banyak kontribusi kita
sehingga salah satu keluarga kita terjerumus dalam jurang dosa. Jika
kita menyalahkannya maka keluarga kita yang demikian itu kehilangan
tempat kembali yang sangat diharapkan yaitu keluarga sendiri, padahal ia
masih hidup itulah satu sumber daya yang ada padanya untuk memperbaiki
keadaan, dan merencanakan hidup berubah kearah lebih baik di masa
mendatang. Selanjutnya jangan dibicarakan kepada sembarang orang, dan
jangan diungkit sebagai alat pemukul pada suatu saat, karena itu
sangat menyakitkan. Ingatlah setiap orang ingin dimaklumi apakah itu
pantas atau tidak. Doronglah agar ia mau bertobat dan mengkompensasikan
dengan perilaku yang saleh , dorong agar ia dapat mengambil pelajaran
dari kejadian itu. Hal-hal yang membuatnya jadi kecewa pada diri kita,
maafkanlah dan tetaplah bersyukur karena ia masih punya umur dan mau
bertobat. Bukan hal yang mudah namun lakukanlah yang terbaik semoga
Alloh menolong kita… “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar