Perayaan maulid nabi muhammad saw
maulid nabi muhammad saw : Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid nabi muhammad
saw adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang
dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka
berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah
ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah
11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al
Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka
beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang
pertama kali mengadakan peringatan maulid nabi muhammad saw ialah para
raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka
menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi, maulid Imam
Ali Radhiyallahu ‘Anhu, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al
Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa.
Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya,
hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy.
Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada
tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril
Ibtida’ , hal. 126)
Hukum Memperingati maulid nabi muhammad saw
Memperingati maulid nabi muhammad saw
mempunyai keutamaan di sisi Allah. Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:
“Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni
dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak
menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya
dan Baitullah Ka’bah.” (Zaadul Ma’ad: 1/74)
Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut
lantas disyari’atkan untuk memperingati maulid nabi muhammad saw nya?
Ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’аn
dan Aѕ Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat
Nabi. Allah berfirman (artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu
perkara maka kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’аn) dan Rasul-Nya
(yakni Aѕ Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kiamat.” (An Nisaa’: 59)
Ketika kita kembali kepada Al Qur’аn
ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di
dalam Aѕ Sunnah Rasulullah tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu
pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi
bersabda (yang artinya): “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali
wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang
diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang
diketahuinya.” (HR. Muslim)
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi, apakah mereka memperingati maulid nabi muhammad saw?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi / maulid nabi muhammad saw
tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat), meski ada
peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk
melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau
lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf Radhiyallahu Anhum orang
yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan
pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki,
demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada
kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Bagaimana dengan tabi’іn, tabi’ut
tabi’іn dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy
Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid nabi muhammad saw?
Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.
Dan bila kita renungkan lebih dalam,
ternyata peringatan maulid nabi muhammad saw ini merupakan bentuk
tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka
biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa Alaihis Salam. Rasulullah
bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)
Mungkinkah suatu amalan yang tidak ada
perintahnya di dalam Al Qur’аn dan Aѕ Sunnah, tidak pernah dilakukan
atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah
pula dilakukan oleh tabi’іn, tabi’ut tabi’іn dan Imam-Imam yang empat
(Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil
rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan
juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani,
tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis
akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan
bid’ah yang sangat berbahaya.
Rasulullah SAW bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini
yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun
‘Alaihi)
Lebih dari itu, Allah berfirman (yang
artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya
kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat
Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami
masukkan mereka ke dalam Jahannam.” (An Nisaa’: 115)
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara
yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung
syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya:
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi
Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan
menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti
kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu
adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu
tentang segala kejadian).”
Padahal, Rasulullah SAW jauh-jauh hari
telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya): “Janganlah
kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah
seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah telah berfirman (artinya):
“Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak
(pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’аm: 50)
Bagaimana saudara menyikapi perayaan maulid nabi Muhammad SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar