Kebenaran Agama Bukanlah Rasio
Oleh : Yuyu Wahyudin Bani Atmadja
Ada kisah ironi orang jawa, Pa Bengkring
seorang suami ,yang sangat sayang dan cinta pada istrinya. Suatu saat
istrinya sedang hamil muda,
sebagaimana pada umunya gejala hamil muda adalah ngidam (emesis),yang
menurut mitos jika keinginan seorang wanita yang sedang mengidam “ gawan
bayi” (pembawaan bayi) itu tidak dipenuhi maka kelak anaknya akan “
ngiler “ (mengeluarkan saliva yang berlebihan ). Istri Pa Bengkring saat
itu mengambil kesempatan dengan permintaan yang tidak masuk akal, ia
meminta “ kokring “ (kotoran manusia yang sudah kering), yang biasa
dijumpai dipematang atau tepian parit yang biasa digunakan oleh orang
untuk buang hajat. Karena terlalu cinta pada istri, Pa Bengkring
mencarikan juga kotoran tersebut, karena ia tidak ingin kelak anaknya
“ngiler” lebih dari itu karena ia ingin membuktikan betapa ia sangat
sayang dan mencintai istrinya. Lama ia mencari akhirnya ia bisa
mendapatkannya dan membawa pada istri tercinta. Sesampainya di rumah ia
berikarikan barang pesanannya kokring yang dibungkus rapi, “dasar orang
ngidam aneh-aneh, kok gituan mau dimakan”, pikir Pak Bengkring dalam
hatinya. Tiba-tiba, istrinya malah meminta agar Pa Bengkring
mencicipinya,” waduh gimana ini ”, namun karena Pa Bengkring ingin
menunjukan bahwa ia sangat mencintainya permintaan nyeleneh inipun ia
dipenuhinya. Melihat demikian, istrinya bertanya, “ bagaimana rasanya
Mas ”, ia menjawab, “ wah sepet …”. Rupanya Pak Bengkring tak ingin
menunjukan rasa yang sebenarnya. Itulah istri keterlauan dan suami yang
keterlaluan…
Kisah diatas hanyalah sebuah kisah ironi
bagi seorang suami yang terlalu mencintai atau terlalu mengikuti
keinginan istrinya, sampai hal yang irasional juga ia lakukan. Ini juga
merupakan ilustrasi kebenaran yang didasarkan hanya pada aspek estetika
yang menurut istilah Soren Kierkegaard adalah, “ cara hidup tahap satu
atau tahap estetika “, dimana senang tidak senang (lіkе dislike) yang
menjadi ukuran kebenaran, jika sesuatu itu menyenangkan (lіkе) itu
adalah benar jika sesuatu itu membosankan itu adalah tidak benar.
Ada orang yang hidup terus menerus pada
tahap ini, bahayanya orang-orang yang hidup pada tahap estetika mudah
mengalami kegelisahan, ketakutan dan rasa hampa kadang bodoh dan
kekanakan (seperti Pak Bengkring).
Untuk mengatasinya orang harus memasuki
tahap hidup ke dua yaitu tahap etika, disini kebenaran didasarkan pada
rasio dan logika, ilmu pengetahuan dan standar yang disepakati. Hidup
tahap kedua adalah hidup berlandaskan ilmu, ilmu ini bisa didapat
melalui pendidikan formal maupun melalui media informasi lain intinya
manusia harus tetap mendapatkan informasi yang benar berdasarkan
kebenaran yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah atau setidaknya
berdasarkan pengalaman (empiris) yang terbukti benar.
Tahapan hidup ke tiga atau tertinggi
yaitu tahap religius. Orang hidup berdasarkan standar religius memilih
agama sebagai jalan hidupnya ia tidak mempertimbangkan kebenaran
berdasarkan rasa atau rasio tapi ia mempertimbangkan kebenaran hanyalah
berdasarkan iman. Kebenaran berdasarkan iman bentuk menerima perintah
tulus, iklas, yakin dan semata karena cinta pada Tuhanya, apakah
perintahnya itu menyenangkan, rasional atau malah sebaliknya, selama itu
perintah Nabi dan Tuhannya. Sebagai yang dicontohkan oleh sahabat Umar
Bin Khotob ketika hendak mencium hajar aswad ia berkata, “ hai batu
hitam aku tahu engkau adalah batu, akau menciumnya karena Rasululloh
melakukannya “. Pada contoh sahabat Umar tersebut kita melihat
keimananan adalah melakukan perintah tanpa reserve. Ukuran religi untuk
lіkе dislike mari kita rujuk ucapan sahabat Ali Ra, “ Cintailah orang
yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia
akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau
benci sekadarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan
menjadi orang yang kaucintai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar